Welcome To My Blogs

I HOPE YOU LIKE EVERYTHING AT MY BLOG


ENJOY IT !!!!


(^_^)

Selasa, 27 November 2012

Opini

              Opinion News : berita mengenai pendapat seseorang,
biasanya pendapat para cendekiawan sarjana, ahli atau
pejabat, mengenai suatu hal peristiwa, kondisi
poleksosbudhankam, dan sebagainya.
              Struktur berita, khususnya berita langsung (straight news),
pada umumnya mengacu pada Struktur piramida terbalik (inverted
pyramid), yaitu memulai penulisan berita dengan mengemukakan
fakta/data yang dianggap paling penting, kemudian diikuti bagianbagian
yang dianggap agak penting, kurang penting dan seterusnya.
Bagian paling penting ini dituangkan dalam lead – bagian
kepala atau alinea pertama berita. "Sudah menjadi hukum
jurnalistik," kata Al Hester, "bagi sebagian besar berita yang akan
ditulis dengan menampilkan lebih dulu fakta-fakta yang paling
penting."
               Susunan berita bentuk piramida terbalik ini menguntungkan
pembaca dalam hal efisiensi waktu karena langsung mengetahui
berita paling penting. Karenanya, bentuk ini bisa lebih menarik
perhatian pembaca. Selain itu, bentuk ini pun memudahkan
kerja redaktur / editor / penyunting untuk melakukan
pemotongan naskah (cutting) jika kolom / ruang yang tersedia
terbatas atau tidak cukup untuk memuat seluruh bagian berita.
Struktur berita selengkapnya adalah sebagai berikut
1. Judul (head)
2. Dateline, yakni tempat atau waktu berita itu diperoleh
dan disusun. Contoh: Jakarta, Kompas : Republika, Senin,
"PR".
3. Teras berita (Lead)
4. Isi berita (Body)

Example : My Opinion :

                                                                Kereta Api Di Indonesia

Dirut PT KAI Tinjau Langsung Jalur Longsor Cilebut

Marieska Harya Virdhani - Okezone
Kamis, 22 November 2012 13:18 wib wib
Petugas tengah memperbaiki rel yang longsor (Foto: Marieska/Okezone)
Petugas tengah memperbaiki rel yang longsor (Foto: Marieska/Okezone)
BOGOR - PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) masih berupaya memperbaiki jalur kereta Jakarta-Bogor pascalongsor yang terjadi semalam. Sedikitnya 200 tenaga dikerahkan bahu membahu untuk memperbaiki jalur tersebut.

Bahkan Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan langsung meninjau lokasi tersebut. Humas PT KAI Sugeng Priyono mengatakan dilihat dari lokasi longsor, medan yang ada cukup berat dan curam. Semula diprediksi hanya dua hari, ternyata akan membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari.

"Tanpa ada gangguan yang lain, dua hari cukup satu jalur. Tapi saat kita lihat perkembangan sekarang kok sulit, ini butuh material yang banyak, belum kemacetan jalan, kondisi tanah labil, tergantung pada curah hujan, lebih dari 10 hari," katanya di lokasi.

Ia menambahkan saat ini pihaknya masih menghitung - hitung kerugian yang ada. Pihaknya berupaya untuk segera memperbaiki jalur tersebut.

"Secepatnya, masih dihitung-hitung. Kami masih berpikir apa membuat jembatan darurat, kita minta bantuan, upaya bisa menembus, kasihan warga Bogor yang mau bekerja ke Jakarta," tandasnya.
(sus)
 
Opini saya :
Kereta Api pada saat ini banyak sekali peminatnya, dikarenakan kereta api adalah jalur transportasi yang cepat dan tidak perlu berhubungan dengan kemacetan. tapi pada dasarnya memang tidak ada sesuatu yang sempurna. masalah keterlambatan kereta api di Indonesia dirasa sangat parah. banyak gangguan karena hilang sinyal, penumpang yang tidak taat peraturan dan masalah lain menyebabkan banyak orang yang mengeluh. baru beberapa bulan ini tarif kereta dinaikan menjadi 9000 rupiah. banyak sekali yang tidak menerima dan protes tapi tetap saja mereka menggunakannya, karena kereta api adalah kendaraan yang sangat efektif untuk saat ini. baru- baru ini sekitar mungkin seminggu yang lalu, jalur kereta api cilbeut menuju bogor mengalami longsor. hal ini dikarenakan hujan yang terus menerus mengguyuri kota bogor. stasiun bogor pun tidak dioperasikan dan akhirnya pemberangkatan semua kereta dipindahkan ke stasiun bojong gede. seperti berita diatas, saya menyimpulkan bahwa walaupun ini adalah karena faktor alam, tetapi sebagai penumpang yang setiap harinya bersama kereta api ini dirasa sangat menyebalkan. bukan hanya kejadian longsor ini saja, tetapi sebelumnya terlalu sering kereta api mengalami masalah.dengan kejadian ini saya berharap bahwa PT.KAI tetap berusaha dan berjuang untuk membuat Kereta Api di Indonesia jauh lebih baik dari sebelumnya. jika terus seperti ini, dirasa akan terjadi penurunan penumpang yang menggunakan kereta api.
Credit : MENULIS BERITA DAN FEATURE by Juwito
              http://jakarta.okezone.com/read/2012/11/22/501/721733/dirut-pt-kai-tinjau-langsung-jalur-longsor-cilebut

Feature

1. Pengertian Feature
                  Penulisan feature "mutlak" dilakukan oleh redaksi sebuah
media massa cetak, terutama mingguan, dwimingguan, dan
bulanan. Bersaing dengan media elektronik, media cetak tentu
tak akan mampu "mengalahkannya" dalam hal aktualitas dan
kecepatan penyampaian informasi kepada khalayak.
Feature mengandung informasi yang "lebih" ketimbang berita
biasa (news), antara lain hal-hal yang mungkin diabaikan oleh news
tadi dan relatif tidak akan pernah "basi" (tidak aktual lagi) seperti
berita biasa.
                  Feature merupakan sebuah "karangan khas" yang menuturkan
fakta, peristiwa, atau proses disertai penjelasan riwayat
terjadinya, duduk perkaranya, proses pembentukannya, dan
cara kerjanya. Sebuah feature umumnya mengedepankan unsur
why dan how sebuah peristiwa.
Mengenai batasan pengertian (definisi) feature, belum ada
kesepakatan di antara para ahli jurnalistik. Masing-masing ahli
memberikan rumusannya sendiri tentang kata feature. Jadi,
sebagaimana pengertian berita, tidak ada rumusan tunggal tentang
pengertian feature.
                   Yang jelas, feature adalah sebuah tulisan jurnalistik juga,
namun tidak selalu harus mengikuti rumus klasik 5W +1 H dan is
bisa dibedakan dengan news, artikel (opini), kolom dan analisis
berita. "Kita punya kisah atas faktafakta telanjang," kata William L.
Rivers, "dan itu kita sebutkan sebagaimana `berita'. Disamping
berita kita jumpai lagi tajuk rencana, kolom dan tinjauan, yang kita
sebutkan 'artikel' atau 'opinion pieces'. Sisanya yang terdapat dalam
lembaran Surat kabar, itulah yang disebutkan karangan khas
(feature)."
                   Dari sejumlah pengertian feature yang ada dapat ditemukan
beberapa ciri khas tulisan feature, antara lain :
 
A. Mengandung segi human interest
Tulisan feature memberikan penekanan pada fakta-fakta
yang dianggap mampu menggugah emosi –
menghibur, memunculkan empati dan keharuan.
Dengan kata lain, sebuah feature juga harus mengandung
segi human interest atau human touch – menyentuh
rasa manusiawi. Karenanya, feature termasuk kategori
soft news (berita lunak atau ringan) yang pemahamannya
lebih menggunakan emosi. Berbeda dengan hard news
(berita keras) yang isinya mengacu kepada dan
pemahamannya lebih banyak menggunakan pemikiran.
B. Mengandung unsur sastra
Satu hal penting dalam sebuah feature adalah is harus
mengandung unsur sastra. Feature ditulis dengan cara
atau gaya menulis fiksi. Karenanya, tulisan feature
mirip dengan sebuah cerpen (cerita pendek) atau novel –
bacaan ringan dan menyenangkan – namun tetap
informatif dan faktual. Karenanya pula, seorang penulis
feature pada dasarnya atau pada prinsipnya adalah seorang
yang bercerita.
Jadi, feature adalah jenis berita yang sifatnya ringan dan
menghibur. Ia menjadi bagian dari pemenuhan fungsi
menghibur (entertainment) sebuah Surat kabar.
Seorang penulis feature harus memiliki ketajaman dalam melihat,
memandang, dan menghayati suatu peristiwa. Ia harus mampu pula
menonjolkan suatu hal yang meskipun sudah umum, namun
belum terungkap seutuhnya.

2. Jenis-jenis Feature
Adapun jenis-jenis feature di antaranya:

A. Feature Berita yang lebih banyak mengandung unsur berita,
berhubungan dengan peristiwa aktual yang menarik
perhatian khalayak. Biasanya merupakan pengembangan
dari sebuah straight-news.
B. Feature Artikel yang lebih cenderung segi sastra. Biasanya
dikembangkan dari sebuah berita yang tidak aktual lagi atau
berkurang aktualitasnya.
Misalnya, tulisan mengenai suatu keadaan atau kejadian,
seseorang, suatu hal, suatu pemikiran, tentang ilmu
pengetahuan, dan lain-lain yang dikemukakan sebagai
laporan (informasi) yang dikemas secara ringan dan
menghibur.
Berdasarkan tipenya, maka feature dapat dibedakan menjadi
A. Feature human interest (langsung sentuh keharuan,
kegembiraan, kejengkelan atau kebencian, simpati, dan
sebagainya). Misalnya, cerita tentang penjaga mayat di
rumah sakit, liku-liku kehidupan seorang guru di daerah
terpencil, atau kisah seorang penjahat yang dapat
menimbulkan kejengkelan.
B. Feature pribadi-pribadi menarik atau feature biografi.
Misalnya riwayat hidup seorang tokoh yang meninggal,
tentang seorang yang berprestasi, atau seseorang yang
memiliki keunikan sehingga bernilai berita tinggi.
C. Feature perialanan. Misalnya kunjungan ke tempat
bersejarah di dalam ataupun di luar negeri, atau ke
tempat yang jarang dikunjungi orang. Dalam feature
jenis ini, biasanya unsur subyektivitas menonjol, karena
biasanya penulisnya yang terlibat langsung dalam peristiwa
/ perjalanan itu mempergunakan "aku", "Saya" atau "kami"
(sudut pandang –point of view – orang pertama).
D, Feature sejarah, yaitu tulisan tentang peristiwa masa
lalu, misalnya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, atau
peristiwa keagamaan, dengan memunculkan "tafsir barn"
sehingga tetap terasa aktual untuk masa kini.
E. Feature petunjuk praktis (Tips), Practical Guidance
Feature, atau mengajarkan keahlian – how to do it.
Misalnya tentang inernasak, merangkai bunga,
membangun rumah, dan sebagainya.

3. Struktur Tulisan
Struktur tulisan feature umumnya disusun seperti kerucut terbalik,
yang terdiri dari :
M e n u l i s B e r i t a d a n F e a t u r e s
1. Judul (head)
2. Teras (lead)
3. Bridge atau jembatan antara lead dan body
4. Tubuh tulisan (body)
5. Penutup (ending) yang bisanya mengacu kepada lead,
menimbulkan kenangan atau kengerian, menyimpulkan
yang telah diceritakan atau mengajukan pertanyaan tanpa
jawaban.
Lead, intro atau teras feature, berisi hal terpenting
untuk menarik perhatian pembaca pada suatu hal yang akan
dijadikan sudut pandang (angel) dimulainya penulisan.
Jenis-jenis lead atau teras sebuah feature antara lain
A. Teras yang bercerita. Biasanya digunakan oleh para pengarang
fiksi dalam cerpen atau novel.
Contoh :
Satpam PT Anu malam itu bertugas seperti biasanya. Setelah
mengontrol pintu utama dan belakang gedung, ia duduk di
posnya sambil waspada akan segala kemungkinan. Cuaca
malam itu memang dingin, hujan rintikrintik yang terjadi sejak
sore, kian mendingin suasana. Ia pun terserang dan tak kuasa
menahan kantuk Tidur. Tidak lama kemudian ia terbangun dan
mendapati kedua tangannya terikat.
B. Teras pertanyaan, dimaksudkan untuk menyentuh rasa
ingin tahu (curiosity) pembaca.
Contoh :
Siapa penguasa Indonesia sebenarnya ? TNI, presiders,
anggota dewan, atau IMF ? Sulit menjawabnya. Namun, kita
bisa mengetahui Siapa yang paling berkuasa di negeri ini,
dengan membandingkan besar-kecilnya kewenangan mereka
secara konstitusional dan kenyataan di lapangan.
C. Teras kutipan, yaitu kutipan pepatah, ayat Al-Qur'n, ucapan
atau pendapat orang terkenal yang berkaitan dengan terra
feature.
Contoh :
Siapa menguasai informasi, dialah penguasa masa depan.
Siapa buta politik, akan menjadi korban permainan politik. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka
mengubah nasib diri mereka sendiri. " "Right or wrong is my
country"
A. Teras ringkasan, yaitu teras yang menyimpulkan isi tulisan
(inti cerita) Contoh :
Berawal dari coba-coba, Ahmad akhirnya menjadi
pengusaha sukses dengan ratusan karyawan.
B Tiruan bunyi
Contoh :
"Dor!" suara itu memecah keheningan malam dan mengagetkan
pemuda Yono (28 tahun), yang malam itu tengah berjalan
menuju rumahnya. la pun segera menuju ke arah datangnya
bunyi tembakan itu. Didapatinya seorang pemuda bertato di
lengannya, tergeletak bersimbah darah.
C. Teras sapaan, yakni menyapa pembaca
Contoh :
Anda termasuk orang yang sulit tidur ?
Pernahkah Anda memperhatikan cara Anda berjalan ?
D. Teras deskriptif, menciptakan gambaran tentang suatu tokoh
atau tempat kej adian
Contoh :
Penampilannya sama sekah tidak mengesankan bahwa ia
seorang profesor. Bercelana blue jeans dan berkaos oblong,
tanpa kacamata dan. bertubuh atletis, ia berbaur dengan
mahasiswanya. Bagi yang belum mengenalnya, sulit
membedakan mana mahasiswa dan mana profesor
pembimbing mereka.
Adapunjenis-jenis penutup sebuah feature, di antaranya
Penutup menyimpulkan, yaitu meringkas apa-apa yang telah
diuraikan dan mengarahkan ke lead.Penutup klimaks, biasanya dipakai dalam feature yang
ditulis secara kronologis, yaitu mengemukakan akhir
cerita, seperti halnya cerita merangkai bunga menjadi
sebuah rangkaian bunga yang indah dan bernilai tinggi.
Misalnya, kisah tentang awal meletusnya sebuah kerusuhan, di
bagian akhir ditulis demikian : "Maka, keesokan harinya, rapat
umum pun digelar. Segera setelah rapat umum itu bubar, massy
menjadi beringas dan tak terkendali..."



credit :  MENULIS BERITA DAN FEATURE’S by Juwito . PDF Version.

Rabu, 31 Oktober 2012

NEWS : Korean Wave ( Hallyu Wave )



http://myticket.co.id/wp-content/uploads/2012/08/mp-smt-228x200.jpg 

Jakarta- Bulan September ini, Korean Wave atau biasa yang disebut hallyu wave di Indonesia semakin menunjukan eksistensinya. Pada tanggal 22 September 2012, SM Town,  Konser musik Idol korea dilaksanakan di Gelora Bung Karno. SM Town adalah sebuah Konser keluarga besar idol- idol di bawah naungan SM. Entertainment di Korea Selatan. SM.Entertainment adalah sebuah perusahaan entertaint terbesar di Korea selatan.

SM Town telah memulai world tournya pada tahun 2012 ini. Indonesia pun masuk daftar world tour mereka karena dirasakan banyaknya peminat musik korea di Indonesia. Konser SM Town world tour di Indonesia mempunyai venue terbesar selama rangkaian tour mereka. Idol –idol yang hadir pada konser SM Town ini terdiri dari boyband dan girlband paling terkenal di Korea Selatan. Bukan hanya penampilan group saja, tetapi ada penampilan idol solo juga. Mereka adalah Super Junior, TVXQ, Girls generation, F(x), Shinee, BoA, Kangta dan lain sebagainya dengan artis- artis di bawah naungan SM. Entertainment.
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCr8BfV2PkRNu2tWdSwahazCrm7IX-GQYrFjyJuZt-wBdhzcAN5jY_oqx_gaEJu3ruiCZ75h5nTg84Emr-RTFBn2FyOlMJfUXFKKGXncDSFZkRP4vjCgsby9RLGMe4XjG1OmEJPIhiDqx8/s1600/Konser+SMTown+Live+World+Tour+III+di+Jakarta+22+September.jpeg
                 Artis- artis SM.Entertainment tiba di Indonesia satu hari sebelum konser dilaksanakan. Banyak dari penggemar mereka menunggu mereka di Bandara. Para penggemar pun dirasa cukup fanatik. Venue konser pada hari sabtu dibuka pada sore hari tapi sudah banyak yang menunggu dan mengantri sejak pagi.  Artis- artis yang dibawah naungan perusahaan raksasa di Korea Selatan itu pun kembali ke negara asalnya satu jam setelah konser mereka berakhir.
Korean wave memang sedang hangat- hangatnya diperbincangkan di seluruh dunia. Kebanyakan mereka yang fanatik adalah remaja- remaja putri. Di Indonesia sendiri hal ini dirasa sangat bagus karena sangat menguntungkan pada hal visit Indonesia. Banyaknya artis- artis luar negeri yang datang ke Indonesia membuka income yang besar untuk kepariwisataan di Indonesia dan membuat Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang wajib dikunjungi oleh artis luar negeri.

Sejarah Jurnalistik Di Indonesia



Jurnalistik

                   Kewartawanan atau jurnalisme (berasal dari kata journal), artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Di Indonesia, istilah "jurnalistik" dulu dikenal dengan "publisistik". Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.

Aktivitas
       
                   Kewartawanan dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan. Para wartawan seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pemberitaan (pers). Aktivitas utama dalam kewartawanan adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau yang sedang hangat (trend). Kewartawanan meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.

Sejarah

                   Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit. Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.



History of Journalism (Sejarah jurnalistik Dunia)



                Journalism, the collection, preparation, and distribution of news and related commentary and feature materials through such media as pamphlets, newsletters, newspapers, magazines, radio, motion pictures, television, books, blogs, webcasts, podcasts, and e-mail. The word journalism was originally applied to the reportage of current events in printed form, specifically newspapers, but with the advent of radio, television, and the Internet in the 20th century the use of the term broadened to include all printed and electronic communication dealing with current affairs.

History

                 The earliest known journalistic product was a news sheet circulated in ancient Rome and called the Acta Diurna. Published daily from 59 bce, it was hung in prominent places and recorded important social and political events. In China during the Tang dynasty, a court circular called a bao, or “report,” was issued to government officials. This gazette appeared in various forms and under various names more or less continually to the end of the Qing dynasty in 1911. The first regularly published newspapers appeared in German cities and in Antwerp about 1609. The first English newspaper, the Weekly Newes, was published in 1622. One of the first daily newspapers, The Daily Courant, appeared in 1702.
At first hindered by government-imposed censorship, taxes, and other restrictions, newspapers in the 18th century came to enjoy the reportorial freedom and indispensable function that they have retained to the present day. The growing demand for newspapers owing to the spread of literacy and the introduction of steam- and then electric-driven presses caused the daily circulation of newspapers to rise from the thousands to the hundreds of thousands and eventually to the millions.
Magazines, which had started in the 17th century as learned journals, began to feature opinion-forming articles on current affairs, such as those in the Tatler (1709–11) and the Spectator (1711–12). Appearing in the 1830s were cheap mass-circulation magazines aimed at a wider and less well-educated public, as well as illustrated and women’s magazines. The cost of large-scale news gathering led to the formation of news agencies, organizations that sold their international journalistic reporting to many different individual newspapers and magazines. The invention of the telegraph and then radio and television brought about a great increase in the speed and timeliness of journalistic activity and, at the same time, provided massive new outlets and audiences for their electronically distributed products. In the late 20th century, satellites and later the Internet were used for the long-distance transmission of journalistic information.

The profession

                 Journalism in the 20th century was marked by a growing sense of professionalism. There were four important factors in this trend: (1) the increasing organization of working journalists, (2) specialized education for journalism, (3) a growing literature dealing with the history, problems, and techniques of mass communication, and (4) an increasing sense of social responsibility on the part of journalists.
An organization of journalists began as early as 1883, with the foundation of England’s chartered Institute of Journalists. Like the American Newspaper Guild, organized in 1933, and the Fédération Nationale de la Presse Française, the institute functioned as both a trade union and a professional organization.
Before the latter part of the 19th century, most journalists learned their craft as apprentices, beginning as copyboys or cub reporters. The first university course in journalism was given at the University of Missouri (Columbia) in 1879–84. In 1912 Columbia University in New York City established the first graduate program in journalism, endowed by a grant from the New York City editor and publisher Joseph Pulitzer. It was recognized that the growing complexity of news reporting and newspaper operation required a great deal of specialized training. Editors also found that in-depth reporting of special types of news, such as political affairs, business, economics, and science, often demanded reporters with education in these areas. The advent of motion pictures, radio, and television as news media called for an ever-increasing battery of new skills and techniques in gathering and presenting the news. By the 1950s, courses in journalism or communications were commonly offered in colleges.
The literature of the subject—which in 1900 was limited to two textbooks, a few collections of lectures and essays, and a small number of histories and biographies—became copious and varied by the late 20th century. It ranged from histories of journalism to texts for reporters and photographers and books of conviction and debate by journalists on journalistic capabilities, methods, and ethics.
Concern for social responsibility in journalism was largely a product of the late 19th and 20th centuries. The earliest newspapers and journals were generally violently partisan in politics and considered that the fulfillment of their social responsibility lay in proselytizing their own party’s position and denouncing that of the opposition. As the reading public grew, however, the newspapers grew in size and wealth and became increasingly independent. Newspapers began to mount their own popular and sensational “crusades” in order to increase their circulation. The culmination of this trend was the competition between two New York City papers, the World and the Journal, in the 1890s.
The sense of social responsibility made notable growth as a result of specialized education and widespread discussion of press responsibilities in books and periodicals and at the meetings of the associations. Such reports as that of the Royal Commission on the Press (1949) in Great Britain and the less extensive A Free and Responsible Press (1947) by an unofficial Commission on the Freedom of the Press in the United States did much to stimulate self-examination on the part of practicing journalists.
By the late 20th century, studies showed that journalists as a group were generally idealistic about their role in bringing the facts to the public in an impartial manner. Various societies of journalists issued statements of ethics, of which that of the American Society of Newspaper Editors is perhaps best known.

Present-day journalism

                    Although the core of journalism has always been the news, the latter word has acquired so many secondary meanings that the term “hard news” gained currency to distinguish items of definite news value from others of marginal significance. This was largely a consequence of the advent of radio and television reporting, which brought news bulletins to the public with a speed that the press could not hope to match. To hold their audience, newspapers provided increasing quantities of interpretive material—articles on the background of the news, personality sketches, and columns of timely comment by writers skilled in presenting opinion in readable form. By the mid-1960s most newspapers, particularly evening and Sunday editions, were relying heavily on magazine techniques, except for their content of “hard news,” where the traditional rule of objectivity still applied. Newsmagazines in much of their reporting were blending news with editorial comment.
Journalism in book form has a short but vivid history. The proliferation of paperback books during the decades after World War II gave impetus to the journalistic book, exemplified by works reporting and analyzing election campaigns, political scandals, and world affairs in general, and the “new journalism” of such authors as Truman Capote, Tom Wolfe, and Norman Mailer.
The 20th century saw a renewal of the strictures and limitations imposed upon the press by governments. In countries with communist governments, the press was owned by the state, and journalists and editors were government employees. Under such a system, the prime function of the press to report the news was combined with the duty to uphold and support the national ideology and the declared goals of the state. This led to a situation in which the positive achievements of communist states were stressed by the media, while their failings were underreported or ignored. This rigorous censorship pervaded journalism in communist countries.
In noncommunist developing countries, the press enjoyed varying degrees of freedom, ranging from the discreet and occasional use of self-censorship on matters embarrassing to the home government to a strict and omnipresent censorship akin to that of communist countries. The press enjoyed the maximum amount of freedom in most English-speaking countries and in the countries of western Europe.
Whereas traditional journalism originated during a time when information was scarce and thus highly in demand, 21st-century journalism faced an information-saturated market in which news had been, to some degree, devalued by its overabundance. Advances such as satellite and digital technology and the Internet made information more plentiful and accessible and thereby stiffened journalistic competition. To meet increasing consumer demand for up-to-the-minute and highly detailed reporting, media outlets developed alternative channels of dissemination, such as online distribution, electronic mailings, and direct interaction with the public via forums, blogs, user-generated content, and social networking sites such as MySpace and Facebook. Celebrity journalism, focusing on the lives of well-known individuals, also became more popular as weekly tabloid-style magazines such as Us Weekly increased in both number and sensationalistic content.


credit : http://www.britannica.com/EBchecked/topic/306742/journalism